Inilah peristiwa yang dikeroyok media sosial. Boleh dikata berita “Polisi Tembak Polisi” disingkat PTP, telah menjalar kemana-mana dengan sangat cepat. Berita menjadi ramai dan heboh diperbincangkan. Mulai dari ibu-ibu di rumah tangga sampai di warung-warung kopi. Bahkan di kantor-kantor ikut seru membahas peristiwa PTP.
Daya tarik cerita ini disebabkan ada terselip kisah “cinta”. Cerita dugaan hubungan asmara. Namun hal itu masih perlu dibuktikan. Tapi cerita itu menjadi “bumbu” yang meramaikan di balik kematian Brigjen J.
CIRI MEDIA SOSIAL
Sebuah peristiwa penembakan polisi – telah menewaskan seorang berpangkat Brigjen. Di Kepolisian, Brigjen J dikenal sebagai penembak jitu. Tapi kali ini justru ia menjadi korban penembakan. Boleh dikata inilah peristiwa yang termasuk menggemparkan. Karena para pejabat tinggi ikut berkomentar. Banyak pakar hukum ikut memberi pendapat. Kali ini publik ramai menjadikan bahan diskusi.
Inilah kehebatan media sosial telah menunjukkan suatu informasi yang membuat banyak orang terlibat dalam perbincangan. Suatu informasi yang banyak menimbulkan tanda tanya. Dari Medsos lah diketahui bahwa peristiwa PTP itu ada banyak keanehan.
Bayangkan medsos menulis keterangan ketua RT, juga dihilangkannya CCTV. Tapi dari hal Inilah, ciri dari media sosial menunjukkan keunggulan teknologinya. Berhasil memberitakan informasi sepotong-sepotong dari berbagai sudut pandang. Pertimbangan kecepatan informasi menjadi salah satu alasannya. Apalagi bisa “menggoreng” informasi dibalik peristiwa yang masih bisa dicari fakta dan pembuktian. Namun informasinya sudah menyebar dan menimbulkan banyak penafsiran. Itulah media sosial. Di balik kehebatannya, terdapat juga kelemahannya.
Beberapa berita Medsos menulis, korban Brigjen J meninggal setelah ditembak. Tapi ada juga berita menyebutkan ditembak setelah meninggal. Mana yang betul, Memang masih perlu dilakukan “Ceck and receck.”
ANTARA FAKTA DAN OPINI
Di dunia pers, tulisan yang berbentuk opini, menggunakan by line. Nama penulisnya dimunculkan. Itu artinya tanggung jawab isi tulisan ada pada penulisnya. Sementara berita pers, adalah tulisan yang berdasarkan fakta. Tulisan berita tidak bisa dicampur adukkan dengan opini. Sumber informasinya harus jelas.
Di media sosial, informasi ditulis saja apa yang mau diinfokan. Tidak pakai rumus. Opini dan fakta bercampur aduk. Yah begitulah media sosial, tapi penikmatnya luar biasa banyaknya. Pemilik Handphone, menikmati bahkan ikut terlibat memberi komentar secara langsung dengan gaya macam-macam. Ada lucu, ada mengoreksi, sampai ada yang nada jengkel, bahkan sampai muncul komentar sadis. Perhatikan salah satu komentar Medsos : “Polisi tembak Polisi, tapi CCTV ikut mati.”
Di bidang ini Dewan Pers tidak bisa berbuat apa-apa. Ada media sosial yang belum diakui sebagai media pers. Namun sudah banyak juga media on line diakui keberadaannya sebagai media pers.
DEWAN PERS dan DK PWI
Dewan Pers dan Dewan Kehormatan PWI sempat berbeda pendapat soal pemberitaan PTP. Semula Dewan Pers mangakomodir permintaan Penasehat hukum Irjen FS.
Pemberitaan Pers hendaknya melalui sumber resmi, begitu permintaannya. Namun Dewan Kehormatan PWI menolak pendapat itu. Karena Kode Etik Jurnalistik, tidak melarang mengungkap fakta. Dari manapun sumbernya asal memenuhi unsur kebenaran berita. Karena itu DK PWI, soal “Polisi tembak Polisi” menganjurkan wartawan tetap melakukan investigatif reporting. Melakukan penyelusuran berita dan memberitakan berdasarkan fakta dan kebenaran.
Kini Tim bentukan Kapolri jalan terus, kita tunggu hasilnya- apa sebenarnya yang telah terjadi. Yang jelas Irjen FS dan istrinya sudah dalam pemeriksaan .
Dibalik itu masih ada banyak pertanyaan. Antaranya, dimana terjadi penembakan, siapa yang menembak, apa motifnya. Apa sebuah perencanaan atau tidak. Itulah yang namanya kasus hukum. Pasti di Pengadilanlah tempat menunggu jawabannya. xxx