KONAWE UTARA – Kekerasan terhadap wartawan saat meliput kembali terjadi, kali ini terjadi di Kecamatan Andowia, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra), melibatkan Wakil Kepala Teknik Tambang (KTT) PT Bumi Nikel Nusantara (BNN).
Pengusiran dilakukan saat meliput kegiatan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Konut, langsung turun lapangan ke Andowia, melakukan inspeksi mendadak (Sidak).
Sidak DLH Konut di perusahaan penambangan biji nikel ini, digelar atas tindak lanjut laporan masyarakat adanya dugaan pengerusakan sumber mata air bersih yang ditimbulkan dari aktivitas PT BNN sehingga menyebabkan pencemaran.
Sesuai Surat Perintah Tugas (SPT) Nomor :660/258/lX/2022, sidak DLH resmi digelar bersama beberapa wartawan, dipimpin Sekretaris DLH Konut, Marjoni bersama para Kepala Bidang (Kabid) DLH Konut.
Pengusiran wartawan yang dilakukan oleh Wakil Kepala Teknik Tambang (KTT) PT BNN, La Ode Ramaika, saat rombongan tiba di lokasi penambangan PT BNN.
Dua awak media koran harian Rakyat Sultra dan indosultra.com dilarang meliput di lokasi titik air bersih area penambangan PT BNN.
Tak ada penjelasan secara detail alasan wartawan dilarang meliput di titik lokasi air bersih tempat kawasan penambangan PT BNN. Wakil KTT BNN hanya mengatakan bahwa itu aturan perusahaan.
“Kami dari perusahan tidak mengizinkan dari pihak media, untuk ikut naik ke atas (meliput-red) karena ini aturan perusahaan, bisa diizinkan asal ada izin surat dari pihak media,” kata Wakil KTT PT BNN kepada wartawan, disaksikan pihak DLH Konut dan beberapa karyawan perusahaan.
Jurnalis dari Indosultra.com, Jefri Ipnu, menyayangkan perilaku Wakil KTT PT BNN yang melarang wartawan untuk meliput, merupakan suatu pelanggaran sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Konut itu menjelaskan, dalam regulasi tersebut jelas mengatur ketentuan pidana dengan memberikan sanksi terhadap barang siapa yang dengan sengaja melawan hukum menghambat fungsi, tugas dan peran pers sesuai dengan hak dan kewajiban yang diatur.
“Dengan adanya UU tersebut merupakan suatu bentuk perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan profesinya, Sementara cara yang dilakukan oleh pihak KTT PT BNN ini merupakan upaya perlawanan hukum dan ketetapan UU pers nomor 1999,” tutupnya.
Sebelumnya diberitakan, Sumber air di Desa Puuwonua, Desa Puusuli, dan Kelurahan Andowia, Kecamatan Andowia, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra) tercemar akibat aktivitas tambang PT Bumi Nikel Nusantara (BNN).
Masyarakat di tiga desa tersebut tak lagi bisa berharap pada sumber air yang mereka gunakan sebelumnya. Sebab air yang mengalir ke rumah-rumah warga telah berubah warna bercampur dengan tanah.
Masyarakat terpaksa membeli atau menunggu air bersih yang diberikan pihak PT BNN. Bahkan sebagian dari mereka memang terpaksa membeli karena tidak mendapat bantuan dari pihak perusahaan.
Dalam surat yang dikeluarkan pada 4 Januari 2022, DLH Konut meminta PT BNN untuk menghentikan segala aktivitas sementara pertambangan karena telah mengakibatkan sumber air bersih masyarakat menjadi keruh dan tercemar. Pada hari yang sama, DPRD Konut merekomendasikan izin PT BNN untuk dicabut.
Pada Selasa (11/1/2022) lalu, IPPMAKA Konut kembali melakukan unjuk rasa di Kantor DLH dan DPRD Sultra. Rencananya, DLH dan DPRD Sultra akan melakukan peninjauan langsung pada Sabtu (15/1) pekan ini.
Koordinator Lapangan IPPMAKA, Afriansyah mengatakan aktivitas PT BNN tersebut berada di Desa Puusuli dan Puuwonua yang dimulai pada 2021 lalu.
Namun, belum setahun beroperasi, tepatnya pada 29 Desember 2021, aktivitas PT BNN telah mencemari sumber air warga. Pencemaran tersebut disebabkan pembangunan jalan angkut khusus batu bara (hauling road) oleh PT BNN yang membuat material dari pengerukan tanah merembes hingga ke sumber air masyarakat di Desa Puuwonua.
“Material tanahnya yang jatuh di sumber mata air. Itu yang mereka (PT BNN) tidak perhatikan,” katanya, Kamis (13/1).
Meski PT BNN memiliki izin, dia menduga, aktivitas pertambangan yang dilakukan berada di luar area kawasan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
“Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) perusahaan ini tidak tuntas. Kemarin kami tanya di Dinas Kehutanan, katanya ada izinnya. Ini bukan bak yang rusak, tapi sudah sumber airnya. Jadi biar banyak bak yang dibuat, itu bukan solusi kerusakan tersebut,” pungkasnya. (red)