Kriminalisasi Kontrak Bisnis? Kasus Nikel Surabaya Jadi Sorotan Nasional

17

Kriminalisasi Kontrak Bisnis? Kasus Nikel Surabaya Jadi Sorotan Nasional

SURABAYA – Kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang menjerat seorang Direktur Utama perusahaan (IH) di Surabaya memasuki babak baru yang kontroversial. Di tengah sengkarut hukum perdata terkait jual beli bijih nikel dengan PT Bima Sakti Mineral yang belum usai, Polrestabes Surabaya justru menetapkan IH sebagai tersangka. Langkah ini memicu perdebatan sengit di kalangan ahli hukum dan menimbulkan kekhawatiran akan potensi kriminalisasi dalam sengketa bisnis.

Kejanggalan semakin terasa lantaran gugatan perdata terkait dugaan wanprestasi yang diajukan oleh PT Bima Sakti Mineral sebelumnya telah ditolak di tingkat pertama oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan bahkan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya. Namun, aparat kepolisian mengambil jalur yang berbeda dengan menetapkan IH sebagai tersangka berdasarkan Surat Ketetapan Nomor: S.Tap/85/II/RES.1.11./2025/Satreskrim tertanggal 19 Februari 2025.

Situasi ini sontak memantik diskusi mendalam mengenai prinsip ne bis in idem (seseorang tidak boleh dituntut dua kali untuk perkara yang sama) dan batas yang kabur antara ranah hukum perdata dengan hukum pidana dalam konteks sengketa bisnis.

Tim Hukum Didit Hariadi & Rekan, selaku kuasa hukum IH, tak menyembunyikan keterkejutannya atas tindakan kepolisian. Mereka menilai penetapan tersangka tersebut terkesan dipaksakan dan mengabaikan fakta fundamental bahwa akar permasalahan terletak pada ranah hukum perdata yang telah mendapatkan putusan pengadilan.

Menyikapi penetapan tersangka yang dianggap janggal ini, Tim Hukum Didit Hariadi & Rekan telah mengambil langkah tegas dengan mengajukan Permohonan Perlindungan Hukum kepada Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Mabes Polri. Langkah ini didasarkan pada keyakinan bahwa penetapan tersangka terhadap klien mereka tidak memiliki dasar yang kuat.

Ketua Tim kuasa hukum IH, Didit Hariadi SH, dengan tegas menyatakan bahwa PT Bone Sulawesi Prima, perusahaan yang dipimpin kliennya, telah melaksanakan kewajibannya dalam pengadaan bijih nikel sesuai dengan kontrak yang disepakati. Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa PT Bima Sakti Mineral tidak pernah mengajukan invoice maupun memberikan peringatan terkait kewajiban pembayaran.

Kekecewaan juga disampaikan oleh Didit Hariadi terkait proses penyidikan yang dinilainya tidak profesional dan cenderung berpihak. “Kami telah melaporkan penyidik Polrestabes Surabaya ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), serta Inspektorat Pengawasan Daerah (Irwasda) atas dugaan ketidakprofesionalan dan keberpihakan dalam menetapkan klien kami sebagai tersangka,” ujarnya dengan nada kecewa.

Praktisi hukum H Nainuri Suhadi SH.,M.Hum, turut memberikan analisisnya terkait kasus yang menarik perhatian publik ini. Menurutnya, sengketa antara perusahaan IH dan PT Bima Sakti Mineral jelas mengandung unsur “Question prejudicielles a’action“, yang berarti masalah perdata seharusnya diselesaikan terlebih dahulu sebelum proses pidana dapat dilanjutkan. Ia juga menjelaskan konsep “Question prejudicielles au jugement“, di mana penyelesaian masalah perdata menjadi prasyarat mutlak sebelum pengadilan pidana dapat mengambil keputusan akhir.

“Prinsip mendasar dalam prejudicieel geschiel adalah soal kewenangan,” tegas Nainuri. “Jika unsur pidana mensyaratkan adanya hak, sementara hak tersebut masih menjadi objek sengketa di pengadilan perdata, maka proses pidana menjadi prematur dan idealnya ditangguhkan hingga kejelasan hak tercapai.”

Hingga berita ini diturunkan, upaya konfirmasi kepada Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Polisi Aris Purwanto terkait perkembangan kasus ini belum mendapatkan respons. Namun, informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa proses penyidikan di Polrestabes Surabaya dilaporkan terus berjalan. Hal ini semakin memicu kekhawatiran akan potensi kriminalisasi sengketa bisnis dan ketidakpastian hukum yang dapat menghambat iklim investasi.

Para ahli hukum menekankan betapa pentingnya kehati-hatian dalam menangani kasus-kasus yang memiliki irisan tipis antara hukum perdata dan pidana, terutama ketika sudah ada putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap. Langkah pihak IH melalui kuasa hukumnya yang mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap proses penyidikan ke Propam dan Itwasum Mabes Polri dipandang sebagai upaya mencari keadilan dan menjaga integritas sistem peradilan.

Rangkaian Peristiwa Kasus:

  • 17 Juli 2023: Perusahaan IH dan PT Bima Sakti Mineral menjalin kerja sama jual beli bijih nikel.
  • Agustus 2023: Perjanjian jual beli mengalami amandemen.
  • Perselisihan: Timbul perbedaan pendapat mengenai kualitas bijih nikel yang dikirim.
  • Gugatan Perdata: PT Bima Sakti Mineral mengajukan gugatan perdata ke PN Surabaya (No. 470/Pdt.G/2024/PN. Sby).
  • Putusan PN Surabaya: Gugatan PT Bima Sakti Mineral ditolak.
  • Putusan PT Surabaya: Putusan PN Surabaya dikuatkan (Nomor : 43/PDT/2025/PT SBY).
  • 5 Maret 2024: PT Bima Sakti Mineral melaporkan IH ke Polrestabes Surabaya atas dugaan penipuan dan/atau penggelapan dana muka senilai Rp 4,1 miliar.
  • 19 Februari 2025: Polrestabes Surabaya menetapkan IH sebagai tersangka (Nomor : S.Tap/85/II/RES.1.11./2025/Satreskrim).
  • 24 Februari 2025: Kantor Hukum Didit Hariadi & Rekan mengajukan Permohonan Perlindungan Hukum kepada Kadiv Propam Mabes Polri.

Kasus ini kini menjadi perhatian publik dan berpotensi menjadi preseden penting dalam penanganan sengketa bisnis di Indonesia, khususnya terkait batasan antara hukum perdata dan pidana. (red)

Komentar Pembaca