Kenapa Ditolak, Berikut Daftar Pasal Kontroversial Isi RKUHP

87

KENDARIEKSPRES.COM, – Koalisi masyarakat sipil menilai, ada 12 aturan bermasalah dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru. Sementara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP/RKUHP) untuk disahkan menjadi undang-undang pada Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (6/12/2022).

Dilansir dari Tirto.id, RKUHP banyak mendapat kritikan dari berbagai pihak. Bahkan, muncul Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang menolak pengesahan RUU KUHP. Menurut aliansi tersebut, proses pembentukan RKUHP tidak transparan dan tidak partisipatif. RUU KUHP dinilai sebagai wujud pembatasan partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang yang sangat penting. Aliansi kemudian merilis panduan berdasarkan draf yang diterima oleh masyarakat sipil pada 30 November 2022 dan pemantauan mandiri dari rapat DPR RI dan pemerintah yang disiarkan di Youtube pada 24 November 2022.

RKUHP Dinilai Mengancam Kebebasan Pers

Salah satu pihak yang menolak RUU KUHP adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Wakil koordinator advokasi AJI tanah Papua Safwan Ashari mengatakan, dari sekitar 627 pasal RKUHP, puluhan pasal diduga bermasalah, dan jika disahkan tentu merugikan rakyat serta membungkam kebebasan pers sebagai alat kontrol kekuasaan.

“Hasil kajian AJI, ditemukan 19 pasal dari puluhan pasal RKUHP bermasalah yang sangat jelas membungkam kebebasan Pers dan merugikan rakyat kecil dalam berdemokrasi,” ujar Safwan.

Ashari dalam orasi di jalan Trikora Wosi Manokwari Papua Barat, dikutip Antara News. Jurnalis Tribun Papua Barat ini juga menilai bahwa upaya pengesahan RKUHP oleh DPR adalah bentuk perampasan hak rakyat untuk membela kepentingan elite birokrat yang berafiliasi dalam sistem oligarki.

“Salah satu isu krusial di dalam RKUHP yang memuat pasal-pasal penghinaan presiden, lembaga negara dan pemerintah merupakan cela hukum bagi masyarakat kecil termasuk pekerja pers untuk mengkritik kerja pengusaha,” ujarnya.

Bahkan, kata Safwan, ada pula pasal-pasal RKUHP yang mengatur kebebasan berekspresi di muka umum seperti unjuk rasa. Padahal, kata dia, yang rakyat butuhkan adalah perlindungan terhadap kebebasan berpendapat, bukan sebaliknya.

“Yang rakyat butuhkan adalah perlindungan terhadap kebebasan berpendapat bukan dibatasi untuk berpendapat,” kata Safwan.

Senada dengan Safwan Ashari, jurnalis senior Papua Barat, Alex Tethool, menyatakan bahwa pengesahan RKUHP tidak saja membatasi hak demokrasi rakyat tetapi juga memuluskan niat jahat korporasi untuk terhindar dari jeratan hukum akibat kerusakan lingkungan.

“Pelaku kejahatan lingkungan tentu akan bertepuk dada ketika RKUHP disahkan DPR, karena mayoritas pelakunya adalah korporasi karena pembuktian hukum akan bergantung pada kesalahan pengurus, bukan korporasi terkait,” ujar Alex.

Ia mengatakan, isu-isu krusial lainnya di dalam RKUHP seperti pasal tentang paham yang bertentangan dengan Pancasila, pasal tindak pidana korupsi dan pasal pelanggaran HAM berat justru mengembalikan konsistensi negara demokrasi kepada rezim orde baru.

“Dengan pengesahan RKUHP, secara tidak langsung para penguasa sedang mengarahkan negara demokrasi (Indonesia) kembali ke zaman orde baru,” kata Alex Tethool.

Diketahui aksi menolak pengesahan RKUHP digelar serentak AJI di 40 kota se Indonesia berjalan aman dan terkendali termasuk di kota Manokwari Papua Barat dan Jayapura Papua.

Pasal RKUHP Tentang Akses Alat Pencegahan Kehamilan

Selain AJI, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) meminta DPR RI mempermasalahkan dua pasal dalam RKUHP, yakni pasal 410 dan 412 mengenai akses alat pencegah kehamilan.

“Masyarakat sipil melihat rancangan KUHP versi 9 November oleh Kementerian Hukum dan HAM masih belum secara utuh mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil, terutama terkait kesehatan, gender, dan kelompok rentan,” kata CEO dan pendiri CISDI Diah Saminarsi, dalam keterangan tertulis.

Diah mengatakan perubahan mendesak pada pasal 410 dan 412 mengenai alat pencegah kehamilan perlu segera dilakukan karena faktor urgensi dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. Ia menuturkan dalam pasal 410 dan 412, hanya petugas berwenang dan relawan ditunjuk pemerintah yang boleh memberi edukasi alat pencegah kehamilan pada anak.

Menurut CISDI, itu berpotensi membuat pendekatan layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi sentralistik, menghambat kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat sipil, dan membatasi pendekatan informal untuk edukasi kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif.

Diah mengatakan pasal 410 melarang penunjukan alat pencegah kehamilan pada anak yang merupakan salah satu bentuk promosi kesehatan seksual dan reproduksi. Itu berpotensi menurunkan capaian kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia yang saat ini cukup rendah. Pasal tersebut juga menetapkan sanksi pidana bagi siapa saja yang mempertunjukkan alat pencegah kehamilan pada anak-remaja.

Temuan UNICEF 2020 mencatat tingginya angka remaja perempuan di Indonesia yakni 32 persen yang belum mampu mengakses alat kontrasepsi modern. Kondisi tersebut berkontribusi pada tingginya angka kehamilan remaja atau kehamilan terlalu muda di Indonesia.

Studi Bank Dunia (2017) menemukan 47,3 dari setiap 1.000 remaja perempuan di Indonesia pernah melahirkan. Temuan itu lebih tinggi dari rata-rata dunia, yakni 44 dari setiap 1.000 remaja perempuan.

Diah menuturkan pasal 412 yang membuat layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi sentralistik berisiko membatasi informasi anak dan remaja dengan HIV terhadap edukasi seksual dan reproduksi yang komprehensif.

Riset Jacobi (2020) menjelaskan tingginya stigma dan diskriminasi menyulitkan orang dengan HIV (ODHIV) mengakses layanan kesehatan. Sementara Riset Kebijakan AIDS Indonesia (2016) menekankan pentingnya peran kelompok dukungan sebaya dalam meningkatkan pemahaman anak-remaja dengan HIV mengenai kepercayaan diri, pengetahuan, pengetahuan kesehatan seksual dan reproduksi, akses layanan, perilaku pencegahan, dan kegiatan positif lainnya yang didukung kelompok dukungan sebaya.

Pasal RKUHP tentang Penghinaan Hakim

Komisi Yudisial (KY) juga ikut menyorot RKUHP yakni Pasal 278 huruf yang memuat hukuman pidana bagi setiap orang yang bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan.

“Definisi menyerang integritas hakim yang ada di rumusan penjelasan dari Pasal 278 huruf b dengan memberi contoh menuduh hakim bersikap memihak atau tidak jujur, itu menurut KY bisa menjadi ancaman serius bagi pihak-pihak berperkara untuk bersikap kritis terhadap perilaku hakim di persidangan,” kata Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian, dan Pengembangan Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi,

Dikutip Antara News. Pasal 278 huruf b memungkinkan pidana denda paling banyak Kategori II kepada setiap orang yang bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan, padahal telah diperingatkan oleh hakim atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan.

Adapun yang dimaksud dengan bersikap tidak hormat adalah bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan martabat hakim dan pengadilan atau tidak menaati tata tertib pengadilan. Lebih lanjut, yang termasuk dalam menyerang integritas hakim adalah menuduh hakim bersikap memihak atau tidak jujur.

“Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi disinsentif pihak-pihak berperkara untuk menindaklanjuti tuduhannya ke dalam laporan masyarakat pada berbagai lembaga pengawas, seperti Komisi Yudisial,” ucap Binziad.

Apalagi, kata dia, di beberapa kasus, telah muncul upaya dari hakim yang dilaporkan ke Komisi Yudisial untuk kriminalisasi pelapor dengan laporan pidana. Ia mengkhawatirkan adanya frasa “menyerang integritas hakim” berikut penjelasannya dalam RUU KUHP akan memfasilitasi digunakannya strategi tersebut, yang pada gilirannya dapat membungkam daya kritis masyarakat terhadap hakim dan pengadilan. (red/Tirto)

Komentar Pembaca